Arsip Blog

Selasa, 12 Januari 2016

KISAH ANJING ASHABUL KAHFI YANG MASUK SYURGA




Kisah Anjing Ashabul Kahfi yang msuk surga
Aku sangat setia dan aku rela dengan yang sedikit……
Ya… Akulah makhluk paling setia,yang puas dan ridha dengan apapun.Akulah Qithmir, anjing penghuni gua yang tertidur selama tiga ratus sembilan tahun, lalu bangun seperti orang yang tertidur setengah jam. Puji syukur kepada Allah, semua telah terjadi. Aku hampir kehilangan kepercayaan pada eksistensi keadilan di muka bumi ini. Kebanyakan manusia menganggap bahwa anjing adalah binatang yang hanya memikirka makanan dan menggonggong. Itu semua salah.
Kebanyakan mereka juga menganggap kalau anjing adalah makhluk najis dan menjadi bahan ejekan, celaan, hinaan atau apapun yang sejenis itu. Sampai-sampai seorang manusia yang telah diciptakan dan dimuliakan oleh Allah SWT dengan tega berkata pada temannya, “Hai anak….(omongan yang menyinggung anak tersebut)” untuk menghina dan merendahkannya. Sebenarnya itu bukan penghinaan bagi kami para anjing, karena ketika ada makhluk tercipta sebagai seekor anjing tidak berarti ia telah kafir.
Sesungguhnya Allah-lah yang berkehendak menciptakan kami sebagai anjing dan menciptakan yang lain sebagai manusia. Seandainya Allah mau menciptakan anjing menjadi manusia atau manusia menjadi anjing, sungguh Dia Maha Kuasa, dan tidak ada yang mampu menyanggah hukum serta kehendak-Nya. Kalau begitu, mengapa manusia berbuat jahat kepada kami dan membawa-bawa nama kami dalam sumpah serapah mereka? Mengapa?
Aku akan menggonggong memprotes semua ini. Dalam gonggonganku aku akan berkata,”Ini zalim….!”
Bagaimanapun, ini bukan kezaliman satu- satunya yang menjadi spesialisasi manusia. Boleh jadi inilah kezaliman paling sederhana yang mereka lakukan. Aku telah menyaksikan berbagai bentuk kezaliman, dimulai sejak aku lahir dan terus berlangsungbselama hidupku. Kalaulah bukan karena mukjizat yang terjadi pada kami di dalam gua niscaya0akan kukatakan pada keadilan,”Selamat tinggal”.
Aku dilahirkan di suatu pagi yang cerah di sebuah kampung yang sudah hancur dekat kota Afsus. Kelahiranku di tempat ini akhirnya menentukan masa depanku selama-lamanya. Sudah menjadi kehendak taktirak muncul dalam kehidupan ini sebagai sebagai anjing yang sesat dan hidup di sebuah kerajaan yang zalim serta pada masa-masa kelabu. Ibu menyusuiku dan mati sebelum sempat menyusuiku dengan sempurna. Kematiannya bagai sambaran petir dikepalaku.
Akan kuceritakan pada anda bagaimana ibu mati agar anda mengetahui hari-hari kelam yang kami lalui.
Afsus adalah kota yang mempertuhankan hawa nafsu. Penguasa kafir pada Allah. Mayoritas penduduknya adalah orang-orang yang hanya bias ikut-ikutan dan tidak mempunyai pendirian. Berarti sebuah tragedi ketika anda dilahirkan di sebuah kota ketika masyarakatnya tidak mempunyai prinsip hidup. Itu berarti anda telah dilahirkan di sebuah ‘NERAKA’. Anda tidak bias menyanggkal, satu saat boleh jadi akan dizalimi meskipun anda tidak bersalah. Selama manusia itu kafir pada Allah, ini artinya segala sesuatu adalah boleh. Maka,tidak ada dosa yang lebih besar dari kekafiran.
Secara mengejutkan penduduk Afsus melihat jumlah kami semakin bertambah. Begitu kata mereka. Mereka berkata, “Jumlah anjing semakin bertambah, mereka selalu menggonggongsiang dan malam sehingga kami tidak dapat tidur. Mereka memakan makanan kami, menggigit anak kami, dan mangotori tempat peribadatan kami. Mereka semua pantas dimusnahkan.”
Begitulah kata mereka, dan Allah-lah yang Mahatahu kalau mereka terlalu berlabihan. Seandainya setiap mereka, daripada menyimpan makanan di rumah dan menumpuknya sampai rusak lalu melemparkan pada kami sepotong roti saja, niscaya kami akan mengurangi gonggongan kami dan akan hidup bersama mereka dalam kedamaian. Intinya mereka mengaluh tidak bias tidur malam hari karena gonggongan kami. Mereka lupa bahwa gonggongan hati merekalah yang menjadi menyabab mereka sulit tidur.
Mereka memutuskan untuk memusnahkan kami. Lalu keluarlah orang-orang bersenjatakan pedang untuk membungkam suara gonggongan anjing. Aku melihat bagaimana pedang itu diayunkan dan diarahkan pada kami sehingga terdengar suara jeritan kami, atau ada setengah dari kami yang melolong panjang ketika melihat setengah kawannya yang lain terpekik tidak jauh darinya.
Aku masih bayi dan belum sempurna menyusu saat mereka masuk kampong kami sambil menghunus pedang. Aku sedang tidurdi antara dua buah batu besar di kampong itu. Setengah tidur setengah terjaga. Ibu menyembunyikanku bersama dua saudaraku lalu ia pergi ke pasar. Ketika ia kembali aku lihat ibu berlari dikejar manusia sementara pedang mereka telah berlumuran darah. Pedang itu mendarat dilengan ibuku hingga ia terkapar di tanah bersimbah darah. Sambil menggonggong lemah ia berkat pada kami,”Bersembunyilah baik-baik. Penduduk kota sudah gila dan mereka keluar untuk membunuh para anjing…..”
Kuasksikan dengan mata kepalaku akhir dari hidup ibuku. Waktu itu aku berangan-angan meski ada permusuhan lama antara kami dengan para serigala. Seandainya aku menjadi serigala yang memiliki seribu taring, seribu cakar, dan seribu nyawa.
Aku menggigil ketakutan di tempatku sampai ibu tak bergerak lagi dan orang-orang itu pun berbalik. Setelah itu aku keluar dari tempat persembunyianku dan kupanggil ibu tapi ia tidak juga bangun. Kubisikkan ke telinganya,”Aku lapar dan ingin menyusu…..”tapi ia tidak menjawab. Ia terbaring di tengah-tengah danau berwarna merah. Salahsatu kakinya masih bergerak-gerak menggelepar sementara bagian badannya yang lain sudah diam.
Begitulah, aku sudah menjadi yatim sebelum sempat menyempurnakan masa susuanku. Aku hadapi hidup ini sebatang kara sejak aku lahir. Kalau bukan karena anjing betina teman ibuku, kalau bukan karena pangkuannya yang penuh kasih sudah pasti aku tidak akan bis berbicara dengan anda saat ini. Dialah yang menyusuiku hingga aku dewasa dan aku pun telah merawatnya di masa tuanya. Kusimpan untuknya tulang dan roti sehingga bila ia datang mengunjungiku , kukeluarkan makanan itu lalu kuberikan padanya. Lalu aku melihatnya sedang makan sambil menggerak-gerakkan ekor. Allah yang tahu kalau aku telah memberinya makan sementara aku sendiri lapar.
Aku dihadapkan pada berbagai problem dunia saat aku sudah dewasa. Aku mesti keluar menuju kehidupan, berlari di bawah terik matahari demi sesuap makanan dan cinta.Matahari adalah satu-satunya makhluk yang bersifat mulia di dalam kerajaan ini. Adapun sesuap makanan adalah makhluk yang pelit. Sementara cinta selalu tersedia.
Ada sebuah hal yang cukup sulit untuk membayangkan arti kehidupan keras dialami oleh anjing- anjing sesat atau liar, seperti kata mereka. Sebuah kehidupan yang keras. Kamu harus mengatur bagaimana mata pencaharian, berlari di waktu yang tepat, dan setiap hari harus tidur di tempat yang berbeda dari hari kemarin.
Tidak ada kenangan. Yang ada hanya rasa takut yang selalu menghantuimu. Selalu memiliki perasaan dikejar dan diburu. Dalam kehidupan seperti itu, aku berkenalan dengan seorang lelaki yang membuat aku berubah. Pertemuan dan perkenalan kami terjadi di sebuah kampong. Waktu itu aku melihat ada penggembala yang sedang menuntun kambing-kambingnya ke salahsatu ladang. Di sana ia tinggalkan kambingnya lalu ia shalat.
Suatu hari kudekatinya ketika sedang shalat. Kudengar ia mengagungkan Allah dan berdoa pada-Nya sebagai tuhan Yang Maha Esa yang tidak mempunyai sekutu. Dengan fitrahku yang bersih aku dapat mengetahui bahwa aku tengah berada di depan seorang lelaki beriman. Aku duduk di sampingnya sampai ia selesai shalat lalu ia menaleh padaku. Terus terang aku tidak merasa takut padanya.
Ia telah selesai sholat lalu ia mengeluarkan makanannya kemudian ia duduk sambil memakan makanannya. Sepotang roti dan sekerat daging.Kutatap sepotong daging itu dengan tajam, aku tidak melihat sepotong tulang di sana. Aku mulai putus asa, namun begitu kugoyangkan juga ekorku. Ia melihatku menggoyang-goyangkan ekor lalu dikeluarkannya potongan daging itu dari mulutnya sebelum ia sempat mengunyahnya dan ia melihat padaku. Kugoyangkan ekorku lebih keras. Ia ulurkan tangannya yang berisi sepototong daging itu padaku lalu ia bertanya padaku dengan lembut apakah kau merasa lapar?
Kugoyangkan ekorku lebih keras tetapi aku tetap tak beranjak dari tempatku. Siapa tahu? Boleh jadi sikapnya yang lembut itu menyimpan maksud untuk menangkapku atau boleh jadi ia memperolok-olokku. Tidak ada gunanya banyak berharap.Pengembala itu kembali mengulurkan tangannya yang berisi sepotong daging padaku. Kugoyangkan ekorku lebih keras karena gembira tapi aku tetap duduk di tempatku. Aku ingin menggigit diriku untuk mengetahui apakah aku sedang tidur atau bangun. Tidak salah lagi aku memang sedang bermimpi. Aku memang sering bermimpi melihat pemandangan seperti ini; seorang lelaki duduk sambil menggenggam potongan roti dan daging . Ia makan roti dan diberikannya daging padaku.
Ini benar-benar mimpi, tidak salah lagi. Tapi cuaca begitu panas dan lidahku menjulur keluar, bagaimana mungkin orang yang bermimpi merasakan sengatan matahari? Ataukah mimpi sudah mengalami perkebangan? Pengebala itu tahu kalau aku tidak mudah mepercayainya. Lalu ia lemparkan padaku potongan daging. Ada jarak 4 meter antartaku dengannya. Potongan daging itu melayang di udara, segera ku angkat kepala dan kusadari bahwaaku tidak sedang bermimpi. Aku melompat ke udara dan kuarahkan mulutku ke arah target lalu ku tangkap.
Semua badanku menari, ekorku menari, mulutku menari, gigiku menari, lambungku menari, mataku menari, dan dunia semuanya bernyanyi. Oh daging… alangkah lezatnya dirimu… sambil menari dan dan menggendong aku berkata pada sang pengmbala, “Sepotong lagi kalau boleh… Ini pertama kali selama hidupku aku merasakan daging… “.
Sang penggembala tersenyum simpul dan aku tahu kalau potongan daging yang kumakan tadi adalah semua makanannya. Aku berlari mengikutinya dan kukecup kedua kakinya , kucium aroma aroma badannya, dan kugoyangkan ekorku. Kurekam aromanya di memoriku dan aku bersumpah untuk hidup melayani aroma badan ini selamanya.Sang penggembala lalu beranjak pulang dan aku mengikutinya di belakang. Aku telah memutuskan untuk menjaganya dan kambing-kambingnya. Aku akan begadang setiap malam supaya ia tidak ditimpa hal-hal yang tidak diinginkan. Iakembali berusaha mengusirku tapi aku semakin lekat dengannya dan kucium kedua kakinya. Akhirnya ia biarkan aku mengikutinya.
Aku terkejut. Ternyata ia pergi menuju istana raja. Aku mulai merasa tidak enak tapi aku tetap masuk bersamanya membawa domba-domba untuk kerajaan. Tampaknya ia seorang upahan untuk menjual domba-domba ke istana.
Hari itu di istana, aku menemui kisah cinta pertamaku. Aku bertemu dengan seekor anjing betina Ratu Priska.Indah… Indah sekali… maksudku istana raja yang dilihat dari dalam. Aku jadi teringat kampong halaman halaman tempat aku hidup yang telah rusak, lalu kubandingkan dengan taman kerajaan ini. Aku merasakan perbedaan kelas yang sangat jelas antara keduanya.Di taman istana kerajaan kulihat sebuah patung untuk tuhan paling besar di kota ini. Tiba-tiba aku teringat kalau aku tadi minum air cukup banyak. Aku segera berlari kea rah patung itu lalu kuangkat kedua kakiku dan… ‘aku kerjai’.Seekor anjing cokelat keluar dari taman menghampiriku sambil menggonggong. Sebuah gonggongan lemah dari gonggongan istana.
“Kenapa kau menggonggong?’ tanyaku padanya.
“Kenapa kau lancang sekali? Apakah kau tak tahu kalau itu patung tuhan paling besar yang disembah di Afsus?” ia balik bertanya.
“Tuhan paling besar atau tuhan paling kecil? Aku terpaksa nona, kau tak perlu menggonggong… “
“Penjaga istana akan membunuhmu kalau mereka tahu kau telah mengotori sesembahan mereka…”
Setengah berbisik aku berkata,”Kau anjing yng manis dan tidak akan mengatakannya pada siapapun. Apakah kau juga mempercayai khurafat- khurafat orang- orang itu? Bukankah mereka sangat bodoh ketika menyembah batu-batu?”“Kau makhluk pemberani pertama yang pertama kutemui di kota ini… kuharap kau catat kekagumanku padamu…”
“Akan kucatat rasa kagum itu dan terima kasih.”
“Dari mana kau dating? Kenapa kau begitu kurus? Tulangmu sampai tersembul dari dagingmu… Kau sangat lucu…”
“Aku datang dari salah satu kampung yang telah musnah. Hari ini aku telah menjadi pelayan seorang penggembala… Rahasia kurusnya badanku adalah karena kekurangan gizi, manusia pelit, harga-harga barang melonjak dan daging sudah sangat jarang. Coba kau bayangkan, aku belum pernah mengecap rasa daging selama hidupku kecuali hari ini. Sang penggembala itu memberikannya kepadaku.”
“Kuharap kau tidak menyebut-nyebut daging di depanku. Aku sudah bosan makan daging setiap hari dan aku rindu potongan tulang.”
“kaum mengatakan kaum makam dagingsetiap hari? “
“Ya…”
“Apakah kau punya sisa daging?”
“Daging makan siang di dalam piring dan belum aku sentuh…”
“Apakah aku bleh melihatnya?”
“Ikuti aku…”
Aku mengikutinya. Ketika ada bejana besar berisi daging, kita berhenti,”Silahkan makan semuanya…”
“Kau jangan menggonggong setelah aku selesai makan atau menuduhku telah mencuri. Aku tidak ingin mengecewakan penggembala.”
Kudekatkan kepalaku ke bejana dan kulahap daging tersebut sekali telan.
“Bagaimana bisa kau makan secepat itu? Kasihan sekali dirimu… Aku berpikir untuk kawin denganmu… Ternyata aku cinta padamu…”
“Aku mohon maaf untuk kawin dan terima kasih atas cintamu. Di hatiku tidak ad atempat untuk cinta. Untuk mencari sesuap makanan saja sudah menghabiskan seluruh perasaanku.”
“Pemberani… kurus… simpatik dan filosofis…..Biarkan aku mencium aromamu… Baumu seperti bunga Banfasaj…..”
“Di kampungku memang ada pohon yang sesungguhnya… Kurasa kemewahan membuat indra penciumanmu menghilang…”
“Kepalaku mabuk setiap kali aku melihatmu berdiri di sampingku. Penuhilah permintaanku, kawinilah aku…”
Aku segera menuju sang penggembala. Saat itu raja sedang bercakap-cakap pada sang penggembala ,”Aku tidak pernah melihatmu sekalipun sujud pada tuhan-tuhan kami hai penggembala. Kuperhatikan engkau lewat di patung-patung tersebut tanpa bersujud sama sekali… Apakah kau sudah gila?”
“Penglihatanku sudah melemah tuanku, sehingga aku tidak bias melihat tuhan anda yang terhormat…”
Aku mulai gemetar. Bagaimana seandainya raja tahu kalau aku telah mengencingi tuhannya.
Raja kembali berkata,”Ini kerajaanku… Tidak boleh ada yang menyembah selain tuhan yang telah kutentukan. Manusia tidak boleh punya pendapat selain mengikuti pendapatku.Aku telah putuskan bahwa ujung pedanglah pendapat yang mesti dipatuhi di kerajaan ini. Aku akan menghukum sampai kepada mimpi- mimpi dan ide-ide yang masih terlintas di kepala.”
“Semoga Tuhan memberkati rencan masa depan raja. Enam potong emas untuk sapi, domba dan kambing. Aku telah bawakan sapi yang gemuk untuk tuanku, semoga dapat memnghangatkan perut tuanku…”
“Kau bias pulang penggembala,” kata raja tiba-tiba.
Raja menyerahkan harga seluruh pesanan hewan-hewan itu lalu kami pulang. Sang penggembala tidak langsung menuju rumahnya. Ia melewati lebih dari satu rumah dan mengetuk pintu-pintu rumah tiu pelan-pelan. Setelah itu ia kalungkan di leherku sebuah rantai dan tembaga dan ia tinggalkan aku di taman rumahnya yang tidak ada tanamannya.
Di tengah malam, sang penggembala bangkit dari kasurnya yang hangat. Aku mengikutinya. Ia keluar dari kota menuju bukit yang teletak dekat dari kota. Aku terus mengiringinya. Ia lalu turun ka sebuah tempat yang terletak antara dua bukit itu. Aku turun bersamanya. Di sana sudah ada enam orang. Sebagian dari mereka pernah kulihat di istana raja dan sebagian yang lain belum pernah aku lihat sama sekali. Mereka saling berpelukan dan mulai dialog sambil berbisik.
Sang penggembala mulai angkat bicara, “Dari pertanyaan raja hari ini, mungkin ia sudaj tahu hubunganku dengan menterinya. Kita harus bertindak cepat.”
Yang lain berkata,”Raja sudah mulai gila. Besok ia akan mulai aksi terorisnya.”
Yang lain menimpali,”Ia telah memutuskan untuk memusnahkan siapa saja yang menyembah selain tuhan-tuhannya yang banyak itu”Yang ketiga mulai angkat bicara,”Menurutku, kita mesti menunggu esok harilalu kita berkumpul di sini di waktu yang sama. Apakah raja benar-benar melakukan aksi teronya. Kita akan pergi meninggalkan kerajaan ini dan pergi ke gua dekat sini untuk menghabiskan siang di sana dan ketika malam kita akan menyusup ke kota.”Pertemuan selesai. Kami pulang sendiri-sendiri.
Sang penggembala sudah tidur. Aku berkata dalam hati,”aku akan menemui Nahisy di istana …”Aku akhirnya pergi ke istana dan kulihat ia sudah menunggu. Saat aku pulang, ia berkata padaku,”Berikan padaku sesuatu yang dapat mengobati kerinduanku…Aku lepaskan rantai tembaga dari leherku. Rantai itu mencekik leherku. Aku tidak tahu kalau ini adalah pertemuan terakhirku dengannya.
Pagi datang, cahaya matahari berkilauan di mata pedang yang membabat pundak-pundak manusia meski hanya berupa prasangka. Raja telah memutuskan untuk memaksa manusia pada pendapatnya dengan kekuatan pedang para pasukannya sebagai sarana utama untuk memaksakan suatu kehendak. Kaki tangan pejabat kota telah menangkap banyak orang dan merajam mereka dengan batu sampai mati. Kemudian menggelar pengadilan untuk menjatuhkan hukuman mati pada mereka. Apabila seorang hakim bertanya,”Mana para tertuduh yang akan dijatuhi hukuman rajam?” Kaki tangan pejabat kota itu mengatakan bahwa pedang raja telah mendahului keadilan para hakim. Lalu, para hadirin akan bertepuk tangan karena kagum pada keadilan dan ketangkasan raja.
Begitulah, sudah banyak kepala yang melayang dan tidak terhitung jumlah mereka yang telah dirajam. Aku berada dalam sebuah kesulitan besar dan pengebala pun terancam akan dibunuh\ dirajam jika kedoknya terbongkar. Leherku juga tidak akan selamat dari hukuman sebagai anjing yang hidup bersamanya. Bagaimana carannya ini? Apakah aku akan meningalkannya ? Sama saja aku dengan babi kalau kulakukan itu. Aku adalah anjing yang sifat utamanya adalah setia. Aku berkata dalam hati, ”Aku tidak akan meninggalkannya meski leherku akan melayang menjadi seribu potong.” Sebaliknya, cintaku kepada penggembala semakin bertambah dan di saat yang sama aku semakin heran pada penduduk kota. Setiap hari mereka menyaksikan orang terbaik mereka tetapi mereka hanya diam. Berbagai peristiwa telah berlangsung begitu cepat.
Kami mendengar suara ketukan di pintu rumah sang penggembala. Aku menggonggong. Penggembala membukakan pintu. Munculah enam orang lelaki. Di antara mereka ada dua orang menteri kerajaan. Keenam laki-laki itu berkata pada penggembala,”Mari kita ke gua. Cepatlah! Kita tidak punya banyak waktu!” Kami segera mengikuti mereka menuju gua. Penggembala menyuruhku untuk duduk di depan pintu gua untuk berjaga dan menggonggong kalau ada orang asing mendekat.
Aku tidak ingin tertidur. Ini adalah tugas resmi pertama yang diberikan penggembala kepadaku dan aku harus membuktikan kesetiaanku.Mereka terpisah-pisah di dalam gua itu lalu semuanya tertidur. Tugasku adalah menjaga mereka. Kubentangkan kakinku lalu aku ambil posisi berjaga-jaga. Kupejamkan sebelah mataku dan kubuka sebelah yang lain. “Aku akan menjaga orang-orang yang beriman pada Allah ini,” bisikku dalam hati. Tiba-tiba sebelah mataku yang terbuka tadi tertutup secara otomatis.
Aku akhirnya tertidur. Aku yang pertama sekali bangun. Aku terasa mati kelaparan. Kulihat buluku sudah sangat panjang hingga membuatku sendiri terkejut melihatnya. Ada apa ini? Apakah kami telah tertidur selama seminggu?Aku menggonggong untuk membangunkan mereka. Mereka terbangun dan keluar dari dalam gua. Dengan sinar matahari aku dapat melihat mereka derngan jelas. Janggut mereka sangat panjang sampai menutupi mata kaki. Juga rambut mereka, rambut mereka panjang terurai di punggung layaknya jubah seorang pengantin. Tampang mereka menakutkan sekali.
Rasanya aku ingin sekali mencium aroma mereka sebelum tidur. Mereka mulai bertanya-tanya dalam gua.
Sang penggembala diutus untuk keluar dari gua. Aku ikut keluar bersamanya. Kejanggalan mulai terasa. Di mana kota Afsus? Di sini hanyalah kota lain, corak pakaian yang berbeda dan anjing yang tidak sama dengan yang kulihat sebelum tidur. Orang-orang berkeliling di sekitar penggembala sambil menunjuk pakaiannya. Mereka berbisik, “Apakah ia seorang pendatang baru? Lihatlah! Bulunya sangat panjang” Anjing-anjing menggonggong di sekitar kami kemudian mereka lari ketakutan seolah-olah dikejar seribu setan.
Kami masuk ke sebuah took makananyang ditunjukkan oleh orang yang mengerumuni kami. Di sana kami membeli beberapa potong daging dan roti. Penggembala mengeluarkan sekeping uang emas yang diberikan raja sebelum ia tertidur. Baru saja si penjual melihat uang penggembala ia langsung berteriak,”Mata uang kuno! Dari mana kau dapatkan hai orang asing? Apakah kau mendapatkan harta karun?” Suasana semakin rebut. Orang-orang itu berkerumun mengelilingi sang penggembala.
Sebaiknya aku pergi menemui Nahisy, karena hanya dia yang bisa menceritakannya padaku apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata yang tampak di hadapanku adalah istana lain, bukan istana raja yang kemarin kutinggalkan. Tiang-tiangnya masih separti dulu meskipun sudah dimakan usia.
Aku menggonggong pelan,”Nahisy… di mana engkau…?” seekor anjing berwarna cokelat keluar dan bertanya-tanya,”Siapa yang telah memanggil nenekku dari kematian?”
Aku benar-benar terkejut. Ia benar-benar Nahisy.
Anjing tersebut berkata,”Aku adalah Nahisy kecil…”Aku kira ia sedang bercanda denganku. Maka aku mendekat padanya.”Apa yang kau mau hai anjing asing? Lelucon apa ini Nahisy?” tanyaku sambil menaha sabar. Ke mana pemalumu? Ke mana putih matamu…?”Ia berkata sambil tertawa, “Semuanya maish ada kecuali mata yang putih dan rasa malu. Siapa engkau dan apa maumu?”
“Sampai beginikah kau berubah dalam satu malam? Wahai kesetiaan yang telah lekat secara palsu pada bangsa anjing? Di laut penghianatan mana kau berbaring?”
Ia berkata penuh heran,”Kenapa engkau menangis seperti itu? Aku belum pernah melihatmu sebelum ini.” Akhirnya kusadari ia benar-benar tidak mengenaliku. Hal ini memang banyak terjadi dalam dunia anjing. Dalam pedih aku berkata,”Kau tidak lagi mengenalku setelah semua yang terjadi? Langit terbelah dalam hatiku, bintang jatuh terbakar, matahari padam. Apakah cintamu padaku sebelum kita melahap santapan malam itu telah mati? Aku belum punah, aku masih hidup selama engkau masih hidup.”
Ia berkata penuh haru,”Perkataan itu tidak diucapkan anjing manapun padaku seumur hidup meski aku banyak mengenal anjing. Apa yang telah kulakukan padamu sampai kau melolong seperti itu, bagaimana mungkin aku pernah menghianatimu sementara aku tidak pernah melihatmu sebelum ini?”
Aku gerakkan lehernya dan kulihat kalung tembaga yang kuhadiahkan kepadanya pada malam perkawinan kami. Aku berkata padanya,”Bagaimana kau dapat tahan pada kalung di lehermu…Tidakkah tembaganya membakar lehermu? Kau khianati orang yang telah menghadiahkan padamu kalung itu kemudian kamu pakai dengan penuh congkak..”
Ia mundur selangkah. “Oooh... aku tahu sekarang ceritamu! Kalung ini bukan milikku melainkan kalung milik anjing ratu priska, Ia telah mati sejak 300 tahun lalu. Kalung ini kami warisi dari generasi ke generasi…Apakah kau yang telah menghadiahkan kalung ini padanya? Apakah kau Qithmir? Apakah kau anjing yang dicintainya? Ia mati sambil melolong untuk bersumpah setia kepadamu. Apakah kau…”
Aku tidak dapat mendengar kata-kata selanjutnya…Aku merasakan diriku hancur dan lenyap…
Mulailah hakikat yang sesungguhnya tergambar dalam benakku. Kalau Nahisy benar-benar mati 300 silam, berarti kami telah tertidur selama 300 tahun lebih.
Badanku gemetar tetapi aku mulai mengerti. Patung yang disembah Afsus sudah lenyap. Ini artinya bahwa imanlah yang menang. Apakah kami telah tidur selama tiga ratus tahun untuk menyingkap rahasia ini? Bagiku sendiri, Nahisy telah pergi dan hilang. Ia telah mati. Ini yang lebih penting bagiku daripada masalah lain. Aku tenggelam dalam tangis panjang dan kubenamkan kepalaku di tanah lalu aku melolong. Sambil mendekat padaku, cucu Nahisy berkata,”Oh Tuhan… sampai sedalam itukah kau mencintainya? Tadi kukira kau berbicara padaku. Kukira kau telah menggodaku. Kenapa hatiku berdebar saat melihatmu? Apakah cinta mampu bertahan sepanjang masa? Kenapa kau tidak menjawabku? Sikap masa bodohmu bias membunuhku. Aku lebih cantik dari neekku Nahisy. Lihatlah bagaimana aku merawat bulu-buluku…”
Sambil menyandarkan kepalanya di dadaku ia berkata, “Cobalah untuk melupakannya. Pandanglah aku dan berusaha melupakannya…”
Kusingkirkan ia dariku lalu aku kembali ke gua. Ia memanggilku dan menggonggong mengisyaratkan cinta. Ia terus memohon dan menggerak-gerakkan ekornya. Tetapi aku tenggelam dalam keputusasan dan kesedihan. Nahisy telah pergi. Aku tidak akan mendengar suaranya lagi, aromanya lagi, dan pancaran cintanya. Seluruh pelosok kota seolah pecah dalam tangis.
Aku dikejar anjing-anjing kota. Mereka menggonggong kemudian lari ketakutan. Aku semakin merasa kesepian dan putus asa. Rasanya kedua kakiku sudah tak mampu lagi membawaku ke gua. Kulihat Ashabul Kahfi juga merasakan apa yang kurasakan. Mereka sangat bingung dan saling bertanya. Aku berlari menuju sang penggembala dan kurebahkan badanku di kakinya lalu aku menangis. Aku tidak punya siapa-siapa selain kamu. Nahisy telah pergi… ia sudah mati. Sang penggembala mengusap kepalaku. Kepalaku rasanya sangat pusing. Kudengar penggembala bertanya pada sang menteri,”Menurut mereka berapa lama kita tinggal di gua?”
“309 tahun” jawab sang menteri.“Bagaimana mungkin kita tidur selama itu?”“Ini semua kekuasaan Allah…”
“Allah telah memperlihatkan pada kita akibat orang-orang yang mendustakan-Nya” kata penggembala tiba-tiba.
“Kau benar penggembala. Raja yang zalim itu telah kalah dan tuhan-tuhan mereka berguguran. Siapa pernah menyangka kalau ini akan terjadi…”“Aku merasa sangat asing di kota lalu aku kembali ke gua seperti seorang yang pergi ke rumahnya. Anak-anak dan istriku telah mati. Di kota tak ada seorang pun yang mengerti cucuku…’
Kepedihan yang ia rasakan serupa dengan kepedihanku. Aku menggonggong keras. Aku teringat Nahisyku dan kubandingkan cucu dari cucunya, tetapi kesedihanku padanya semakin bertambah.Terdengar suara ribut-ribut sedang mendekati gua. Aku lupakan kesedihanku lalu aku melompat ke pintu gua dan menggonggong. Tampak raja kota baru bersama para menterinya serta tokoh-tokoh pembesarnya berada di jajaran terdepan masyarakat Afsus seluruhnya. Mereka semua datang berbondong-bondong menuju gua sambil memegang ranting pohon zaitun dan bunga-bunga. Ternyata cucu Nahisy juga di antara mereka.
Baru saja aku lihat kumpulan manusia itu aku langsung menggonggong keras sebanyak dua kali sehingga mereka semua berhenti. Raja menunjukku,”Bersama mereka juga ada anjing… Sungguh ajaib sekali.”
Salah seorang menterinya berkata,”Anjing itu telah tidur bersama orang suci itu selama 309 tahun…” Aku kembali menggonggong sehingga mereka tetap berdiri di posisi mereka. Salah seorang penjaga raja mengangkat pedangnya untuk menakut-nakutiku tapi gonggonganku semakin keras. Raja berkata sambil menahan tangan penjaganya,”Jangan sentuh anjing penuh berkah ini. Ia juga tidur selama ashabul kahfi itu tidur. Kita juga tidak boleh membunuh anjing-anjing yang tidak bersalah. Orang yang beriman pada Allah tidak akan menyakiti makhluk-makhluk-Nya yang lebih lemah.” Ternyata keadilan sudah kembali ke muka bumi. Aku berhenti menggonggong. Ketika iman pada Allah sudah kembali, keadilan pun juga ikut kembali.
Raja berteriak,”Wahai orang-orang suci… keluarlah salah seorang dari kalian. Ini raja Afsus yang sedang berbicara dengan kalian…”Sang penggembala keluar diiringi teman-temannya. Raja dan menterinya tunduk memberi hormat diikuti seluruh masyarakat. “Wahai orang-orang suci, kami ingin mendengar kisah kalian…” seruh raja.Karena aku sudah tahu kisahnya lalu aku berbalik ke pintu gua kemudian duduk. Cucu Nahisy datang dan berkata ,”Kenapa kau duduk sendirian? Apakah kau masih mengingatnya…?”
“Aku hanya tidur satu malam, bagaimana mungkin aku akan melupakan semuanya hanya dalam satu malam?”
“Kau telah tidur bertahun-tahun…”
“Kedua mataku memang tidur tapi hatiku tetap bangun, bagaimana mungkin aku akan melupakan semuanya…?”
“Kulihat kau memalingkan kepalamu dariku…”
“Hatiku masih teringat padanya…”
“Kesetiaan adalah tabiat aslimu hai Qithmir, tapi kesetiaan itu telah melukai hatiku. Apa kau kira kau bukan lagi seekor anjing?”“Aku tidak tahu… Kami sudah mati tapi ternyata tidak mati… Kami tidur tapi bagaimana mungkin kami tidur 309 tahun. Otakku pusing dan hatiku tumpah di dadaku seperti air yang tumpah. Aku tidak merasa menjadi anjing lagi di muka bumi ini. Mereka semua lari dan menjauhi diriku.”“Tapi aku tidak lari darimu… Malah kaulah yang lari dariku”“Hasilnya sama saja. Aku benar-benar merasa terasing. Larinya mereka dariku itulah yang menyebabkan aku lari darimu. Tidur di gua telah memisahkan kita, aku bukanlah milikmu. Ada pembatas antara aku dan masa ini ketika kupejamkan mataku di gua. Aku adalah milik sejarah. Aku telah menjadi satu tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah.”
Aku merasa terasing, bingung dan sedikit bangga. Tidak kumungkiri kesedihanku pada Nahisy semakin bertambah, tapi di saat yang samakebahagiaanku semakin bertambah. Apakah menurutmu aku sedang menuju Nahisy? Seolah-olah ia ada di sana… di sebuah tempat yang tenang, gelap, dan indah… lalu kurebahkan diriku dalam kegelapan cahaya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar