Kisah Anjing Ashabul Kahfi yang msuk surga
Aku sangat setia dan aku rela dengan yang sedikit……
Ya… Akulah makhluk paling setia,yang puas dan ridha dengan
apapun.Akulah Qithmir, anjing penghuni gua yang tertidur selama tiga
ratus sembilan tahun, lalu bangun seperti orang yang tertidur setengah
jam. Puji syukur kepada Allah, semua telah terjadi. Aku hampir
kehilangan kepercayaan pada eksistensi keadilan di muka bumi ini.
Kebanyakan manusia menganggap bahwa anjing adalah binatang yang hanya
memikirka makanan dan menggonggong. Itu semua salah.
Kebanyakan
mereka juga menganggap kalau anjing adalah makhluk najis dan menjadi
bahan ejekan, celaan, hinaan atau apapun yang sejenis itu. Sampai-sampai
seorang manusia yang telah diciptakan dan dimuliakan oleh Allah SWT
dengan tega berkata pada temannya, “Hai anak….(omongan yang menyinggung
anak tersebut)” untuk menghina dan merendahkannya. Sebenarnya itu bukan
penghinaan bagi kami para anjing, karena ketika ada makhluk tercipta
sebagai seekor anjing tidak berarti ia telah kafir.
Sesungguhnya
Allah-lah yang berkehendak menciptakan kami sebagai anjing dan
menciptakan yang lain sebagai manusia. Seandainya Allah mau menciptakan
anjing menjadi manusia atau manusia menjadi anjing, sungguh Dia Maha
Kuasa, dan tidak ada yang mampu menyanggah hukum serta kehendak-Nya.
Kalau begitu, mengapa manusia berbuat jahat kepada kami dan membawa-bawa
nama kami dalam sumpah serapah mereka? Mengapa?
Aku akan menggonggong memprotes semua ini. Dalam gonggonganku aku akan berkata,”Ini zalim….!”
Bagaimanapun, ini bukan kezaliman satu- satunya yang menjadi
spesialisasi manusia. Boleh jadi inilah kezaliman paling sederhana yang
mereka lakukan. Aku telah menyaksikan berbagai bentuk kezaliman, dimulai
sejak aku lahir dan terus berlangsungbselama hidupku. Kalaulah bukan
karena mukjizat yang terjadi pada kami di dalam gua niscaya0akan
kukatakan pada keadilan,”Selamat tinggal”.
Aku dilahirkan di
suatu pagi yang cerah di sebuah kampung yang sudah hancur dekat kota
Afsus. Kelahiranku di tempat ini akhirnya menentukan masa depanku
selama-lamanya. Sudah menjadi kehendak taktirak muncul dalam kehidupan
ini sebagai sebagai anjing yang sesat dan hidup di sebuah kerajaan yang
zalim serta pada masa-masa kelabu. Ibu menyusuiku dan mati sebelum
sempat menyusuiku dengan sempurna. Kematiannya bagai sambaran petir
dikepalaku.
Akan kuceritakan pada anda bagaimana ibu mati agar anda mengetahui hari-hari kelam yang kami lalui.
Afsus adalah kota yang mempertuhankan hawa nafsu. Penguasa kafir pada
Allah. Mayoritas penduduknya adalah orang-orang yang hanya bias
ikut-ikutan dan tidak mempunyai pendirian. Berarti sebuah tragedi ketika
anda dilahirkan di sebuah kota ketika masyarakatnya tidak mempunyai
prinsip hidup. Itu berarti anda telah dilahirkan di sebuah ‘NERAKA’.
Anda tidak bias menyanggkal, satu saat boleh jadi akan dizalimi meskipun
anda tidak bersalah. Selama manusia itu kafir pada Allah, ini artinya
segala sesuatu adalah boleh. Maka,tidak ada dosa yang lebih besar dari
kekafiran.
Secara mengejutkan penduduk Afsus melihat jumlah kami
semakin bertambah. Begitu kata mereka. Mereka berkata, “Jumlah anjing
semakin bertambah, mereka selalu menggonggongsiang dan malam sehingga
kami tidak dapat tidur. Mereka memakan makanan kami, menggigit anak
kami, dan mangotori tempat peribadatan kami. Mereka semua pantas
dimusnahkan.”
Begitulah kata mereka, dan Allah-lah yang Mahatahu
kalau mereka terlalu berlabihan. Seandainya setiap mereka, daripada
menyimpan makanan di rumah dan menumpuknya sampai rusak lalu melemparkan
pada kami sepotong roti saja, niscaya kami akan mengurangi gonggongan
kami dan akan hidup bersama mereka dalam kedamaian. Intinya mereka
mengaluh tidak bias tidur malam hari karena gonggongan kami. Mereka lupa
bahwa gonggongan hati merekalah yang menjadi menyabab mereka sulit
tidur.
Mereka memutuskan untuk memusnahkan kami. Lalu keluarlah
orang-orang bersenjatakan pedang untuk membungkam suara gonggongan
anjing. Aku melihat bagaimana pedang itu diayunkan dan diarahkan pada
kami sehingga terdengar suara jeritan kami, atau ada setengah dari kami
yang melolong panjang ketika melihat setengah kawannya yang lain
terpekik tidak jauh darinya.
Aku masih bayi dan belum sempurna
menyusu saat mereka masuk kampong kami sambil menghunus pedang. Aku
sedang tidurdi antara dua buah batu besar di kampong itu. Setengah tidur
setengah terjaga. Ibu menyembunyikanku bersama dua saudaraku lalu ia
pergi ke pasar. Ketika ia kembali aku lihat ibu berlari dikejar manusia
sementara pedang mereka telah berlumuran darah. Pedang itu mendarat
dilengan ibuku hingga ia terkapar di tanah bersimbah darah. Sambil
menggonggong lemah ia berkat pada kami,”Bersembunyilah baik-baik.
Penduduk kota sudah gila dan mereka keluar untuk membunuh para
anjing…..”
Kuasksikan dengan mata kepalaku akhir dari hidup
ibuku. Waktu itu aku berangan-angan meski ada permusuhan lama antara
kami dengan para serigala. Seandainya aku menjadi serigala yang memiliki
seribu taring, seribu cakar, dan seribu nyawa.
Aku menggigil
ketakutan di tempatku sampai ibu tak bergerak lagi dan orang-orang itu
pun berbalik. Setelah itu aku keluar dari tempat persembunyianku dan
kupanggil ibu tapi ia tidak juga bangun. Kubisikkan ke telinganya,”Aku
lapar dan ingin menyusu…..”tapi ia tidak menjawab. Ia terbaring di
tengah-tengah danau berwarna merah. Salahsatu kakinya masih
bergerak-gerak menggelepar sementara bagian badannya yang lain sudah
diam.
Begitulah, aku sudah menjadi yatim sebelum sempat
menyempurnakan masa susuanku. Aku hadapi hidup ini sebatang kara sejak
aku lahir. Kalau bukan karena anjing betina teman ibuku, kalau bukan
karena pangkuannya yang penuh kasih sudah pasti aku tidak akan bis
berbicara dengan anda saat ini. Dialah yang menyusuiku hingga aku dewasa
dan aku pun telah merawatnya di masa tuanya. Kusimpan untuknya tulang
dan roti sehingga bila ia datang mengunjungiku , kukeluarkan makanan itu
lalu kuberikan padanya. Lalu aku melihatnya sedang makan sambil
menggerak-gerakkan ekor. Allah yang tahu kalau aku telah memberinya
makan sementara aku sendiri lapar.
Aku dihadapkan pada berbagai
problem dunia saat aku sudah dewasa. Aku mesti keluar menuju kehidupan,
berlari di bawah terik matahari demi sesuap makanan dan cinta.Matahari
adalah satu-satunya makhluk yang bersifat mulia di dalam kerajaan ini.
Adapun sesuap makanan adalah makhluk yang pelit. Sementara cinta selalu
tersedia.
Ada sebuah hal yang cukup sulit untuk membayangkan arti
kehidupan keras dialami oleh anjing- anjing sesat atau liar, seperti
kata mereka. Sebuah kehidupan yang keras. Kamu harus mengatur bagaimana
mata pencaharian, berlari di waktu yang tepat, dan setiap hari harus
tidur di tempat yang berbeda dari hari kemarin.
Tidak ada
kenangan. Yang ada hanya rasa takut yang selalu menghantuimu. Selalu
memiliki perasaan dikejar dan diburu. Dalam kehidupan seperti itu, aku
berkenalan dengan seorang lelaki yang membuat aku berubah. Pertemuan dan
perkenalan kami terjadi di sebuah kampong. Waktu itu aku melihat ada
penggembala yang sedang menuntun kambing-kambingnya ke salahsatu ladang.
Di sana ia tinggalkan kambingnya lalu ia shalat.
Suatu hari
kudekatinya ketika sedang shalat. Kudengar ia mengagungkan Allah dan
berdoa pada-Nya sebagai tuhan Yang Maha Esa yang tidak mempunyai sekutu.
Dengan fitrahku yang bersih aku dapat mengetahui bahwa aku tengah
berada di depan seorang lelaki beriman. Aku duduk di sampingnya sampai
ia selesai shalat lalu ia menaleh padaku. Terus terang aku tidak merasa
takut padanya.
Ia telah selesai sholat lalu ia mengeluarkan
makanannya kemudian ia duduk sambil memakan makanannya. Sepotang roti
dan sekerat daging.Kutatap sepotong daging itu dengan tajam, aku tidak
melihat sepotong tulang di sana. Aku mulai putus asa, namun begitu
kugoyangkan juga ekorku. Ia melihatku menggoyang-goyangkan ekor lalu
dikeluarkannya potongan daging itu dari mulutnya sebelum ia sempat
mengunyahnya dan ia melihat padaku. Kugoyangkan ekorku lebih keras. Ia
ulurkan tangannya yang berisi sepototong daging itu padaku lalu ia
bertanya padaku dengan lembut apakah kau merasa lapar?
Kugoyangkan ekorku lebih keras tetapi aku tetap tak beranjak dari
tempatku. Siapa tahu? Boleh jadi sikapnya yang lembut itu menyimpan
maksud untuk menangkapku atau boleh jadi ia memperolok-olokku. Tidak ada
gunanya banyak berharap.Pengembala itu kembali mengulurkan tangannya
yang berisi sepotong daging padaku. Kugoyangkan ekorku lebih keras
karena gembira tapi aku tetap duduk di tempatku. Aku ingin menggigit
diriku untuk mengetahui apakah aku sedang tidur atau bangun. Tidak salah
lagi aku memang sedang bermimpi. Aku memang sering bermimpi melihat
pemandangan seperti ini; seorang lelaki duduk sambil menggenggam
potongan roti dan daging . Ia makan roti dan diberikannya daging padaku.
Ini benar-benar mimpi, tidak salah lagi. Tapi cuaca begitu panas dan
lidahku menjulur keluar, bagaimana mungkin orang yang bermimpi merasakan
sengatan matahari? Ataukah mimpi sudah mengalami perkebangan? Pengebala
itu tahu kalau aku tidak mudah mepercayainya. Lalu ia lemparkan padaku
potongan daging. Ada jarak 4 meter antartaku dengannya. Potongan daging
itu melayang di udara, segera ku angkat kepala dan kusadari bahwaaku
tidak sedang bermimpi. Aku melompat ke udara dan kuarahkan mulutku ke
arah target lalu ku tangkap.
Semua badanku menari, ekorku menari,
mulutku menari, gigiku menari, lambungku menari, mataku menari, dan
dunia semuanya bernyanyi. Oh daging… alangkah lezatnya dirimu… sambil
menari dan dan menggendong aku berkata pada sang pengmbala, “Sepotong
lagi kalau boleh… Ini pertama kali selama hidupku aku merasakan daging…
“.
Sang penggembala tersenyum simpul dan aku tahu kalau potongan
daging yang kumakan tadi adalah semua makanannya. Aku berlari
mengikutinya dan kukecup kedua kakinya , kucium aroma aroma badannya,
dan kugoyangkan ekorku. Kurekam aromanya di memoriku dan aku bersumpah
untuk hidup melayani aroma badan ini selamanya.Sang penggembala lalu
beranjak pulang dan aku mengikutinya di belakang. Aku telah memutuskan
untuk menjaganya dan kambing-kambingnya. Aku akan begadang setiap malam
supaya ia tidak ditimpa hal-hal yang tidak diinginkan. Iakembali
berusaha mengusirku tapi aku semakin lekat dengannya dan kucium kedua
kakinya. Akhirnya ia biarkan aku mengikutinya.
Aku terkejut.
Ternyata ia pergi menuju istana raja. Aku mulai merasa tidak enak tapi
aku tetap masuk bersamanya membawa domba-domba untuk kerajaan. Tampaknya
ia seorang upahan untuk menjual domba-domba ke istana.
Hari itu
di istana, aku menemui kisah cinta pertamaku. Aku bertemu dengan seekor
anjing betina Ratu Priska.Indah… Indah sekali… maksudku istana raja yang
dilihat dari dalam. Aku jadi teringat kampong halaman halaman tempat
aku hidup yang telah rusak, lalu kubandingkan dengan taman kerajaan ini.
Aku merasakan perbedaan kelas yang sangat jelas antara keduanya.Di
taman istana kerajaan kulihat sebuah patung untuk tuhan paling besar di
kota ini. Tiba-tiba aku teringat kalau aku tadi minum air cukup banyak.
Aku segera berlari kea rah patung itu lalu kuangkat kedua kakiku dan…
‘aku kerjai’.Seekor anjing cokelat keluar dari taman menghampiriku
sambil menggonggong. Sebuah gonggongan lemah dari gonggongan istana.
“Kenapa kau menggonggong?’ tanyaku padanya.
“Kenapa kau lancang sekali? Apakah kau tak tahu kalau itu patung tuhan paling besar yang disembah di Afsus?” ia balik bertanya.
“Tuhan paling besar atau tuhan paling kecil? Aku terpaksa nona, kau tak perlu menggonggong… “
“Penjaga istana akan membunuhmu kalau mereka tahu kau telah mengotori sesembahan mereka…”
Setengah berbisik aku berkata,”Kau anjing yng manis dan tidak akan
mengatakannya pada siapapun. Apakah kau juga mempercayai khurafat-
khurafat orang- orang itu? Bukankah mereka sangat bodoh ketika menyembah
batu-batu?”“Kau makhluk pemberani pertama yang pertama kutemui di kota
ini… kuharap kau catat kekagumanku padamu…”
“Akan kucatat rasa kagum itu dan terima kasih.”
“Dari mana kau dating? Kenapa kau begitu kurus? Tulangmu sampai tersembul dari dagingmu… Kau sangat lucu…”
“Aku datang dari salah satu kampung yang telah musnah. Hari ini aku
telah menjadi pelayan seorang penggembala… Rahasia kurusnya badanku
adalah karena kekurangan gizi, manusia pelit, harga-harga barang
melonjak dan daging sudah sangat jarang. Coba kau bayangkan, aku belum
pernah mengecap rasa daging selama hidupku kecuali hari ini. Sang
penggembala itu memberikannya kepadaku.”
“Kuharap kau tidak menyebut-nyebut daging di depanku. Aku sudah bosan makan daging setiap hari dan aku rindu potongan tulang.”
“kaum mengatakan kaum makam dagingsetiap hari? “
“Ya…”
“Apakah kau punya sisa daging?”
“Daging makan siang di dalam piring dan belum aku sentuh…”
“Apakah aku bleh melihatnya?”
“Ikuti aku…”
Aku mengikutinya. Ketika ada bejana besar berisi daging, kita berhenti,”Silahkan makan semuanya…”
“Kau jangan menggonggong setelah aku selesai makan atau menuduhku telah mencuri. Aku tidak ingin mengecewakan penggembala.”
Kudekatkan kepalaku ke bejana dan kulahap daging tersebut sekali telan.
“Bagaimana bisa kau makan secepat itu? Kasihan sekali dirimu… Aku berpikir untuk kawin denganmu… Ternyata aku cinta padamu…”
“Aku mohon maaf untuk kawin dan terima kasih atas cintamu. Di hatiku
tidak ad atempat untuk cinta. Untuk mencari sesuap makanan saja sudah
menghabiskan seluruh perasaanku.”
“Pemberani… kurus… simpatik dan filosofis…..Biarkan aku mencium aromamu… Baumu seperti bunga Banfasaj…..”
“Di kampungku memang ada pohon yang sesungguhnya… Kurasa kemewahan membuat indra penciumanmu menghilang…”
“Kepalaku mabuk setiap kali aku melihatmu berdiri di sampingku. Penuhilah permintaanku, kawinilah aku…”
Aku segera menuju sang penggembala. Saat itu raja sedang bercakap-cakap
pada sang penggembala ,”Aku tidak pernah melihatmu sekalipun sujud pada
tuhan-tuhan kami hai penggembala. Kuperhatikan engkau lewat di
patung-patung tersebut tanpa bersujud sama sekali… Apakah kau sudah
gila?”
“Penglihatanku sudah melemah tuanku, sehingga aku tidak bias melihat tuhan anda yang terhormat…”
Aku mulai gemetar. Bagaimana seandainya raja tahu kalau aku telah mengencingi tuhannya.
Raja kembali berkata,”Ini kerajaanku… Tidak boleh ada yang menyembah
selain tuhan yang telah kutentukan. Manusia tidak boleh punya pendapat
selain mengikuti pendapatku.Aku telah putuskan bahwa ujung pedanglah
pendapat yang mesti dipatuhi di kerajaan ini. Aku akan menghukum sampai
kepada mimpi- mimpi dan ide-ide yang masih terlintas di kepala.”
“Semoga Tuhan memberkati rencan masa depan raja. Enam potong emas untuk
sapi, domba dan kambing. Aku telah bawakan sapi yang gemuk untuk tuanku,
semoga dapat memnghangatkan perut tuanku…”
“Kau bias pulang penggembala,” kata raja tiba-tiba.
Raja menyerahkan harga seluruh pesanan hewan-hewan itu lalu kami
pulang. Sang penggembala tidak langsung menuju rumahnya. Ia melewati
lebih dari satu rumah dan mengetuk pintu-pintu rumah tiu pelan-pelan.
Setelah itu ia kalungkan di leherku sebuah rantai dan tembaga dan ia
tinggalkan aku di taman rumahnya yang tidak ada tanamannya.
Di
tengah malam, sang penggembala bangkit dari kasurnya yang hangat. Aku
mengikutinya. Ia keluar dari kota menuju bukit yang teletak dekat dari
kota. Aku terus mengiringinya. Ia lalu turun ka sebuah tempat yang
terletak antara dua bukit itu. Aku turun bersamanya. Di sana sudah ada
enam orang. Sebagian dari mereka pernah kulihat di istana raja dan
sebagian yang lain belum pernah aku lihat sama sekali. Mereka saling
berpelukan dan mulai dialog sambil berbisik.
Sang penggembala
mulai angkat bicara, “Dari pertanyaan raja hari ini, mungkin ia sudaj
tahu hubunganku dengan menterinya. Kita harus bertindak cepat.”
Yang lain berkata,”Raja sudah mulai gila. Besok ia akan mulai aksi terorisnya.”
Yang lain menimpali,”Ia telah memutuskan untuk memusnahkan siapa saja
yang menyembah selain tuhan-tuhannya yang banyak itu”Yang ketiga mulai
angkat bicara,”Menurutku, kita mesti menunggu esok harilalu kita
berkumpul di sini di waktu yang sama. Apakah raja benar-benar melakukan
aksi teronya. Kita akan pergi meninggalkan kerajaan ini dan pergi ke gua
dekat sini untuk menghabiskan siang di sana dan ketika malam kita akan
menyusup ke kota.”Pertemuan selesai. Kami pulang sendiri-sendiri.
Sang penggembala sudah tidur. Aku berkata dalam hati,”aku akan menemui
Nahisy di istana …”Aku akhirnya pergi ke istana dan kulihat ia sudah
menunggu. Saat aku pulang, ia berkata padaku,”Berikan padaku sesuatu
yang dapat mengobati kerinduanku…Aku lepaskan rantai tembaga dari
leherku. Rantai itu mencekik leherku. Aku tidak tahu kalau ini adalah
pertemuan terakhirku dengannya.
Pagi datang, cahaya matahari
berkilauan di mata pedang yang membabat pundak-pundak manusia meski
hanya berupa prasangka. Raja telah memutuskan untuk memaksa manusia pada
pendapatnya dengan kekuatan pedang para pasukannya sebagai sarana utama
untuk memaksakan suatu kehendak. Kaki tangan pejabat kota telah
menangkap banyak orang dan merajam mereka dengan batu sampai mati.
Kemudian menggelar pengadilan untuk menjatuhkan hukuman mati pada
mereka. Apabila seorang hakim bertanya,”Mana para tertuduh yang akan
dijatuhi hukuman rajam?” Kaki tangan pejabat kota itu mengatakan bahwa
pedang raja telah mendahului keadilan para hakim. Lalu, para hadirin
akan bertepuk tangan karena kagum pada keadilan dan ketangkasan raja.
Begitulah, sudah banyak kepala yang melayang dan tidak terhitung jumlah
mereka yang telah dirajam. Aku berada dalam sebuah kesulitan besar dan
pengebala pun terancam akan dibunuh\ dirajam jika kedoknya terbongkar.
Leherku juga tidak akan selamat dari hukuman sebagai anjing yang hidup
bersamanya. Bagaimana carannya ini? Apakah aku akan meningalkannya ?
Sama saja aku dengan babi kalau kulakukan itu. Aku adalah anjing yang
sifat utamanya adalah setia. Aku berkata dalam hati, ”Aku tidak akan
meninggalkannya meski leherku akan melayang menjadi seribu potong.”
Sebaliknya, cintaku kepada penggembala semakin bertambah dan di saat
yang sama aku semakin heran pada penduduk kota. Setiap hari mereka
menyaksikan orang terbaik mereka tetapi mereka hanya diam. Berbagai
peristiwa telah berlangsung begitu cepat.
Kami mendengar suara
ketukan di pintu rumah sang penggembala. Aku menggonggong. Penggembala
membukakan pintu. Munculah enam orang lelaki. Di antara mereka ada dua
orang menteri kerajaan. Keenam laki-laki itu berkata pada
penggembala,”Mari kita ke gua. Cepatlah! Kita tidak punya banyak waktu!”
Kami segera mengikuti mereka menuju gua. Penggembala menyuruhku untuk
duduk di depan pintu gua untuk berjaga dan menggonggong kalau ada orang
asing mendekat.
Aku tidak ingin tertidur. Ini adalah tugas resmi
pertama yang diberikan penggembala kepadaku dan aku harus membuktikan
kesetiaanku.Mereka terpisah-pisah di dalam gua itu lalu semuanya
tertidur. Tugasku adalah menjaga mereka. Kubentangkan kakinku lalu aku
ambil posisi berjaga-jaga. Kupejamkan sebelah mataku dan kubuka sebelah
yang lain. “Aku akan menjaga orang-orang yang beriman pada Allah ini,”
bisikku dalam hati. Tiba-tiba sebelah mataku yang terbuka tadi tertutup
secara otomatis.
Aku akhirnya tertidur. Aku yang pertama sekali
bangun. Aku terasa mati kelaparan. Kulihat buluku sudah sangat panjang
hingga membuatku sendiri terkejut melihatnya. Ada apa ini? Apakah kami
telah tertidur selama seminggu?Aku menggonggong untuk membangunkan
mereka. Mereka terbangun dan keluar dari dalam gua. Dengan sinar
matahari aku dapat melihat mereka derngan jelas. Janggut mereka sangat
panjang sampai menutupi mata kaki. Juga rambut mereka, rambut mereka
panjang terurai di punggung layaknya jubah seorang pengantin. Tampang
mereka menakutkan sekali.
Rasanya aku ingin sekali mencium aroma mereka sebelum tidur. Mereka mulai bertanya-tanya dalam gua.
Sang penggembala diutus untuk keluar dari gua. Aku ikut keluar
bersamanya. Kejanggalan mulai terasa. Di mana kota Afsus? Di sini
hanyalah kota lain, corak pakaian yang berbeda dan anjing yang tidak
sama dengan yang kulihat sebelum tidur. Orang-orang berkeliling di
sekitar penggembala sambil menunjuk pakaiannya. Mereka berbisik, “Apakah
ia seorang pendatang baru? Lihatlah! Bulunya sangat panjang”
Anjing-anjing menggonggong di sekitar kami kemudian mereka lari
ketakutan seolah-olah dikejar seribu setan.
Kami masuk ke sebuah
took makananyang ditunjukkan oleh orang yang mengerumuni kami. Di sana
kami membeli beberapa potong daging dan roti. Penggembala mengeluarkan
sekeping uang emas yang diberikan raja sebelum ia tertidur. Baru saja si
penjual melihat uang penggembala ia langsung berteriak,”Mata uang kuno!
Dari mana kau dapatkan hai orang asing? Apakah kau mendapatkan harta
karun?” Suasana semakin rebut. Orang-orang itu berkerumun mengelilingi
sang penggembala.
Sebaiknya aku pergi menemui Nahisy, karena
hanya dia yang bisa menceritakannya padaku apa yang sebenarnya terjadi.
Ternyata yang tampak di hadapanku adalah istana lain, bukan istana raja
yang kemarin kutinggalkan. Tiang-tiangnya masih separti dulu meskipun
sudah dimakan usia.
Aku menggonggong pelan,”Nahisy… di mana
engkau…?” seekor anjing berwarna cokelat keluar dan
bertanya-tanya,”Siapa yang telah memanggil nenekku dari kematian?”
Aku benar-benar terkejut. Ia benar-benar Nahisy.
Anjing tersebut berkata,”Aku adalah Nahisy kecil…”Aku kira ia sedang
bercanda denganku. Maka aku mendekat padanya.”Apa yang kau mau hai
anjing asing? Lelucon apa ini Nahisy?” tanyaku sambil menaha sabar. Ke
mana pemalumu? Ke mana putih matamu…?”Ia berkata sambil tertawa,
“Semuanya maish ada kecuali mata yang putih dan rasa malu. Siapa engkau
dan apa maumu?”
“Sampai beginikah kau berubah dalam satu malam?
Wahai kesetiaan yang telah lekat secara palsu pada bangsa anjing? Di
laut penghianatan mana kau berbaring?”
Ia berkata penuh
heran,”Kenapa engkau menangis seperti itu? Aku belum pernah melihatmu
sebelum ini.” Akhirnya kusadari ia benar-benar tidak mengenaliku. Hal
ini memang banyak terjadi dalam dunia anjing. Dalam pedih aku
berkata,”Kau tidak lagi mengenalku setelah semua yang terjadi? Langit
terbelah dalam hatiku, bintang jatuh terbakar, matahari padam. Apakah
cintamu padaku sebelum kita melahap santapan malam itu telah mati? Aku
belum punah, aku masih hidup selama engkau masih hidup.”
Ia
berkata penuh haru,”Perkataan itu tidak diucapkan anjing manapun padaku
seumur hidup meski aku banyak mengenal anjing. Apa yang telah kulakukan
padamu sampai kau melolong seperti itu, bagaimana mungkin aku pernah
menghianatimu sementara aku tidak pernah melihatmu sebelum ini?”
Aku gerakkan lehernya dan kulihat kalung tembaga yang kuhadiahkan
kepadanya pada malam perkawinan kami. Aku berkata padanya,”Bagaimana kau
dapat tahan pada kalung di lehermu…Tidakkah tembaganya membakar
lehermu? Kau khianati orang yang telah menghadiahkan padamu kalung itu
kemudian kamu pakai dengan penuh congkak..”
Ia mundur selangkah.
“Oooh... aku tahu sekarang ceritamu! Kalung ini bukan milikku melainkan
kalung milik anjing ratu priska, Ia telah mati sejak 300 tahun lalu.
Kalung ini kami warisi dari generasi ke generasi…Apakah kau yang telah
menghadiahkan kalung ini padanya? Apakah kau Qithmir? Apakah kau anjing
yang dicintainya? Ia mati sambil melolong untuk bersumpah setia
kepadamu. Apakah kau…”
Aku tidak dapat mendengar kata-kata selanjutnya…Aku merasakan diriku hancur dan lenyap…
Mulailah hakikat yang sesungguhnya tergambar dalam benakku. Kalau
Nahisy benar-benar mati 300 silam, berarti kami telah tertidur selama
300 tahun lebih.
Badanku gemetar tetapi aku mulai mengerti.
Patung yang disembah Afsus sudah lenyap. Ini artinya bahwa imanlah yang
menang. Apakah kami telah tidur selama tiga ratus tahun untuk menyingkap
rahasia ini? Bagiku sendiri, Nahisy telah pergi dan hilang. Ia telah
mati. Ini yang lebih penting bagiku daripada masalah lain. Aku tenggelam
dalam tangis panjang dan kubenamkan kepalaku di tanah lalu aku
melolong. Sambil mendekat padaku, cucu Nahisy berkata,”Oh Tuhan… sampai
sedalam itukah kau mencintainya? Tadi kukira kau berbicara padaku.
Kukira kau telah menggodaku. Kenapa hatiku berdebar saat melihatmu?
Apakah cinta mampu bertahan sepanjang masa? Kenapa kau tidak menjawabku?
Sikap masa bodohmu bias membunuhku. Aku lebih cantik dari neekku
Nahisy. Lihatlah bagaimana aku merawat bulu-buluku…”
Sambil menyandarkan kepalanya di dadaku ia berkata, “Cobalah untuk melupakannya. Pandanglah aku dan berusaha melupakannya…”
Kusingkirkan ia dariku lalu aku kembali ke gua. Ia memanggilku dan
menggonggong mengisyaratkan cinta. Ia terus memohon dan
menggerak-gerakkan ekornya. Tetapi aku tenggelam dalam keputusasan dan
kesedihan. Nahisy telah pergi. Aku tidak akan mendengar suaranya lagi,
aromanya lagi, dan pancaran cintanya. Seluruh pelosok kota seolah pecah
dalam tangis.
Aku dikejar anjing-anjing kota. Mereka menggonggong
kemudian lari ketakutan. Aku semakin merasa kesepian dan putus asa.
Rasanya kedua kakiku sudah tak mampu lagi membawaku ke gua. Kulihat
Ashabul Kahfi juga merasakan apa yang kurasakan. Mereka sangat bingung
dan saling bertanya. Aku berlari menuju sang penggembala dan kurebahkan
badanku di kakinya lalu aku menangis. Aku tidak punya siapa-siapa selain
kamu. Nahisy telah pergi… ia sudah mati. Sang penggembala mengusap
kepalaku. Kepalaku rasanya sangat pusing. Kudengar penggembala bertanya
pada sang menteri,”Menurut mereka berapa lama kita tinggal di gua?”
“309 tahun” jawab sang menteri.“Bagaimana mungkin kita tidur selama itu?”“Ini semua kekuasaan Allah…”
“Allah telah memperlihatkan pada kita akibat orang-orang yang mendustakan-Nya” kata penggembala tiba-tiba.
“Kau benar penggembala. Raja yang zalim itu telah kalah dan tuhan-tuhan
mereka berguguran. Siapa pernah menyangka kalau ini akan terjadi…”“Aku
merasa sangat asing di kota lalu aku kembali ke gua seperti seorang yang
pergi ke rumahnya. Anak-anak dan istriku telah mati. Di kota tak ada
seorang pun yang mengerti cucuku…’
Kepedihan yang ia rasakan
serupa dengan kepedihanku. Aku menggonggong keras. Aku teringat Nahisyku
dan kubandingkan cucu dari cucunya, tetapi kesedihanku padanya semakin
bertambah.Terdengar suara ribut-ribut sedang mendekati gua. Aku lupakan
kesedihanku lalu aku melompat ke pintu gua dan menggonggong. Tampak raja
kota baru bersama para menterinya serta tokoh-tokoh pembesarnya berada
di jajaran terdepan masyarakat Afsus seluruhnya. Mereka semua datang
berbondong-bondong menuju gua sambil memegang ranting pohon zaitun dan
bunga-bunga. Ternyata cucu Nahisy juga di antara mereka.
Baru
saja aku lihat kumpulan manusia itu aku langsung menggonggong keras
sebanyak dua kali sehingga mereka semua berhenti. Raja
menunjukku,”Bersama mereka juga ada anjing… Sungguh ajaib sekali.”
Salah seorang menterinya berkata,”Anjing itu telah tidur bersama orang
suci itu selama 309 tahun…” Aku kembali menggonggong sehingga mereka
tetap berdiri di posisi mereka. Salah seorang penjaga raja mengangkat
pedangnya untuk menakut-nakutiku tapi gonggonganku semakin keras. Raja
berkata sambil menahan tangan penjaganya,”Jangan sentuh anjing penuh
berkah ini. Ia juga tidur selama ashabul kahfi itu tidur. Kita juga
tidak boleh membunuh anjing-anjing yang tidak bersalah. Orang yang
beriman pada Allah tidak akan menyakiti makhluk-makhluk-Nya yang lebih
lemah.” Ternyata keadilan sudah kembali ke muka bumi. Aku berhenti
menggonggong. Ketika iman pada Allah sudah kembali, keadilan pun juga
ikut kembali.
Raja berteriak,”Wahai orang-orang suci… keluarlah
salah seorang dari kalian. Ini raja Afsus yang sedang berbicara dengan
kalian…”Sang penggembala keluar diiringi teman-temannya. Raja dan
menterinya tunduk memberi hormat diikuti seluruh masyarakat. “Wahai
orang-orang suci, kami ingin mendengar kisah kalian…” seruh raja.Karena
aku sudah tahu kisahnya lalu aku berbalik ke pintu gua kemudian duduk.
Cucu Nahisy datang dan berkata ,”Kenapa kau duduk sendirian? Apakah kau
masih mengingatnya…?”
“Aku hanya tidur satu malam, bagaimana mungkin aku akan melupakan semuanya hanya dalam satu malam?”
“Kau telah tidur bertahun-tahun…”
“Kedua mataku memang tidur tapi hatiku tetap bangun, bagaimana mungkin aku akan melupakan semuanya…?”
“Kulihat kau memalingkan kepalamu dariku…”
“Hatiku masih teringat padanya…”
“Kesetiaan adalah tabiat aslimu hai Qithmir, tapi kesetiaan itu telah
melukai hatiku. Apa kau kira kau bukan lagi seekor anjing?”“Aku tidak
tahu… Kami sudah mati tapi ternyata tidak mati… Kami tidur tapi
bagaimana mungkin kami tidur 309 tahun. Otakku pusing dan hatiku tumpah
di dadaku seperti air yang tumpah. Aku tidak merasa menjadi anjing lagi
di muka bumi ini. Mereka semua lari dan menjauhi diriku.”“Tapi aku tidak
lari darimu… Malah kaulah yang lari dariku”“Hasilnya sama saja. Aku
benar-benar merasa terasing. Larinya mereka dariku itulah yang
menyebabkan aku lari darimu. Tidur di gua telah memisahkan kita, aku
bukanlah milikmu. Ada pembatas antara aku dan masa ini ketika kupejamkan
mataku di gua. Aku adalah milik sejarah. Aku telah menjadi satu tanda
di antara tanda-tanda kebesaran Allah.”
Aku merasa terasing,
bingung dan sedikit bangga. Tidak kumungkiri kesedihanku pada Nahisy
semakin bertambah, tapi di saat yang samakebahagiaanku semakin
bertambah. Apakah menurutmu aku sedang menuju Nahisy? Seolah-olah ia ada
di sana… di sebuah tempat yang tenang, gelap, dan indah… lalu
kurebahkan diriku dalam kegelapan cahaya…